Al-Qur’an dan Sains Modern: Format Korelasi Keduanya


 

Memahami konsepsi al-Qur’an tentang sains modern dan teknologi, tidak dilihat dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang secara langsung membicarakan tentang teori-teori ilmiah, melainkan harus dilihat adakah ayat-ayat al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan. Demikian juga, harus meletakkan al-Qur’an pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesuciannya. Mengenai hal ini Quraish Shihab menulis sebagai berikut:

Membahas hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori­-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam al-Qur’an; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[3]

Sementara itu, menurut Jalaluddin Rahmat,[4] sedikitnya ada lima pendekatan dalam membicarakan hubungan Islam (al-Qur’an), sains dan teknologi. Pertama, menunjukkan bagai-mana al-Qur’an mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi; kedua, mengulas sumbangan umat Islambagi perkembangan sains dan teknologi; ketiga, membahas secara falsafi nisbah Islam, sains dan teknologi. Apakah Islam hanya memberikan landasan aksiologis atau menentukan epitimologi dan ontologis sains? Pendekatan ini erat hubungannya dengan pendekatan keempat; keempat, menentukan apakah ada sains yang islami?; dan kelima, menggambarkan bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini, lalu apa yang dilakukan umat Islam?

Sejarah telah membuktikan bahwa – dengan menggunakan pendekatan yang disebutkan pertama – umat Islam sampai abad ke tiga belas, selama lima abad secara terus menerus telah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat pada tokoh-tokoh ilmuan Muslim seperti Ibnu Sina, Jabir Ibn Hayan, al-Biruni, al-Farabi dan tokoh-tokoh ilmuwan lain yang sezamannya. Keunggulan umat Islam atas bangsa-bangsa lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini digambarkan secara ekspresif oleh Ibn Taimiyyah sebagai berikut:



Kaum muslim mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang bersifat kenabian (agama) maupun rasional, yang juga pernah dikembangkan oleh umat-umat sebelumnya. Tapi mereka, orang-orang muslim itu memiliki keunggulan dengan ilmu pengetahuan yang tidak dipunyai oleh umat-umat yang lain. Ilmu pengetahuan rasional dari umat-umat lain yang sampai ke tangan orang-orang muslim kemudian di kembangkan, baik pengungkapan maupun isinya, sehingga menjadi lebih baik daripada yang ada pada umat-umat yang lain itu, kemudian dibersihkan dari patokan-patokan yang palsu,dan di tambahkan kepdanya unsur kebenaran sehingga orang-orang Muslim itu menjadi lebih unggul daripada orang-orang lain.[5]

Usaha mencari ilmu pengetahuan di samping diperintahkan oleh Rasululah saw, kapan dan dimanapun berada, al-Qur’an sendiri juga telah memerintahkan hal yang sama. Ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw adalah perintah untuk mambaca, yang merupakan unsur pertama dalam pengambil-alihan ilmu.



Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang mencipta-kan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. al-‘Alaq/96: 1-5)



Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) lewat proses membaca (iqra’) yang didasari oleh rasa iman kepada Dzat Pemberi Ilmu. Tuntutan untuk membaca ini tidak hanya terbatas pada obyek-obyek yang tersurat saja (al-Qur’an), melainkan juga terhadap obyek-obyek yang tersirat (alam semesta). Bukan hanya menyelidiki alam semesta tetapi juga meneliti diri manusia sendiri.

Realitas membaca bukan hanya terpaku pada melihat, tetapi termasuk di dalamnya juga harus merenungkan dan memikirkan (tafakkur) terhadap apa yang dibaca. Membaca sebagai suatu proses pencapaian ilmu pengetahuan sudah barang tentu memerlukan bahan bacaan dan tempat untuk mengumpulkan bahan bacaan. Dalam konteks ini, segenap kosmos, baik alam mikro maupun alam makro, kesemuanya merupakan ruang baca, dan perpustakaan raksasa yang sarat akan ilmu pengetahuan.



Epistimologi Sains: Akal sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan

Dalam banyak ayat, al-Qur’an telah menganjurkan dan mendorong umat manusia agar mempergunakan akal dan fikirannya untuk menemukan rahasia-rahasia Allah yang ada di alam yang fana ini. Dengan menggunakan akal dan fikiran tersebut diharapkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui dan masih tersembunyi akan dapat terkuak, yang pada akhirnya dapat dikembangkan guna kepentingan masyarakat luas.

Perintah al-Qur’an untuk mengembangkan ilmu pengetahu-an (sains) ini tidak hanya terbatas pada term aql[6] saja, tetapi menggunakan beberapa term yang beraneka ragam, di antaranya (i)tadzabbara,[7] merenungkan sesuatu yang tersurat dan yang tersirat; (ii) tafakkara,[8] berefleksi, berfikir tentang dan menmukan hukum-hukum alam; (iii) faqiha,[9] mengerti secara mendalam; (iv) tadzakkara,[10] mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari; (v) fahima,[11] memahami dalam bentuk pemahaman yang mendalam; (vi) nadzara,[12] melihat secara abstrak, dalam arti merenung.

Perintah untuk intidhar terhadap alam semesta, baik ter-hadap makhluk yang hidup maupun yang tak bernyawa, seperti dalam QS. al-Ghasiyah/88: 17-20, jaminan bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan alam semesta ini tidak berubah[13] mengandung suatu janji bahwa apabila kita menikuti perintah Allah untuk berintidhar, kita akan menemukan sebagian dari hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya itu, dan kita akan menguasai sains dan akan mampu mengembangkan teknologi bagi kebahagiaan umat manusia.[14]

Berdasarkan kenyataan ini, nampak bahwa al-Qur’an – dengan perintah yang diulang-ulang – banyak berisi tentang perintah yang menyuruh manusia untuk memperhatikan alam semesta (kosmos), yang penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, diteliti, dan difikirkan, agar dapat diketahui rahasia-rahasia yang terkandung di balik tanda-tanda itu. Sehingga menjadi jelas pula, bahwa al-Qur’an sebenarnya banyak memberikan informasi tentang masalah sains modern. Hal ini akan semakin jelas dan nyata apabila dibuktikan lewat intidhar atau observasi terhadap gejala-gejala alam itu sendiri, yang dinyatakan sebagai âyat (tanda-tanda) kekuasaan Allah swt.

 Al-Ayat al-Kauniyah: Problem Penafsiran Ilmiah al-Qur’an

Intidhar atau observasi terhadap alam ini menjadi penting karena beberapa alasan, pertama, ciptaan Allah yang disebut sebagai alam semesta ini berisikan tentang tanda-tanda dan bukti serta pameran dari kebenaran dan kekuasaan-Nya; kedua, karena menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur’an tidaklah mudah.

Sebagai sampel, di sini dapat dikemukakan tentang proses penciptaan langit dan bumi – seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya – yang terdapat dalam QS. al-Anbiya/21: 30, sebagai berikut:

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. al-Anbiya/21: 30)

Dalam memahami atau menafsirkan ayat ini tidaklah mudah. Pemaknaan terhadap ayat ini jika tidak didukung dengan kegiatan intidhar terhadap alam semesta ini, maka akan terasa sulit dan membingungkan. Bagaimana menafsirkan pernyataan al-Qur’an yang mengatakan bahwa langit dan bumi itu bersatu padu? Orang biasa memahami kata langit sebagai batas ruang yang tampak di atas kepala kita  dan melingkupi bumi. Dan bagaimana pula menafsirkan pemisahan antara keduanya, langit dan bumi itu?

Dalam ayat al-Qur’an yang lain juga ditegaskan bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi ini dalam jangka waktu enam hari. Ilustrasi yang demikian ini antara lain dapat ditemukan dalam QS. al-Sajdah/32: 4, sebagai berikut;

Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa`at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. al-Sajdah/32: 4)

Terhadap kenyataan al-Qur’an yang demikian ini, lalu bagaimana kita menafsirkan kalimat ‘fi sittati ayyam’ dan juga ‘summa istawa ‘ala al-arsy’.

Di samping itu, kita juga akan temukan dalam al-Qur’an bahwa Allah membangun langit itu berdasarkan kekuasaannya.

Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya (QS. al-Dzariyat/51: 47)

Ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan, dan juga ayat-ayat lain yang senada, akan terasa sulit dimengerti dan dipahami seandainya tidak diketahui adanya gejala-gejala alam tersebut dari hasil intidhar atau observasi yang serius dalam sains. Kecuali, jika Allah mengungkapkan fenomena-fenomena tersebut secara langsung dalam al-Qur’an kepada kita. Namun demikian, dalam melakukan proses intidhar terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta ini tidak boleh dilakukan secara gegabah, tetapi harus dilakukan secara teliti dan kehati-hatian. Artinya, intidhar yang dilakukan secara hati-hati dan disertai dengan rasa keimanan kepada Allah, maka akan ditemukan keserasian antara ayat-ayat Allah yang terdapat dalam alam semesta ini dengan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, yang keduanya sama-sama berasal dari Tuhan yang Satu, yaitu Allah swt.

Jangankan menafsirkan ayat-ayat Allah yang menyangkut penciptaan benda-benda yang terlalu jauh atau terlalu besar bagi kita, – yang termasuk di dalamnya adalah penciptaan langit dan bumi – untuk memahami ayat-ayat Allah yang lebih dekat dan lebih kecil – termasuk di dalamnya benda-benda disekeliling kita dan tentang penciptaan manusia sendiri – tidaklah mudah bila kita mengabaikan sains modern dan tidak dibantu dengan penemuan-penemuan sains. Kita ambil contoh misalnya pada QS. al-Naml/27: 88, sebagai berikut:



Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Naml/27: 88)



Bagaimana kita memahami ayat ini, bahwa gunung-gunung itu berjalan sebagaimana jalannya awan? Padahal, nampak oleh kita gunung-gunung itu selamanya tetap kokoh berada dalam tempatnya masing-masing?

Dengan bantuan sains modern, ternyata firman Allah swt di atas, sekarang ini dapat dibuktikan. Percobaan pemotretan yang dilakukan secara periodik dan terus menerus terhadap pebunungan pengunungan yang ada di Nujed (Arab Saudi) oleh Telestar (satelit Amerika Serikat), menunjukkan bahwa gunung-gunung itu bergerak ke arah utara, ke Iran sepanjang tiga inchi tiap tahun,[15] tepat seperti yang telah diilustrasikan oleh al-Qur’an.

Demikian juga, seseorang akan merasa kesulitan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang penciptaan manusia, yang di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari materi atau bahan yang berbeda-beda, di antaranya adalah dari saripati tanah (sulalah min thin);[16] dari air (min al-ma’);[17] dari tanah (min thurab);[18] dari tanah liat yang kering seperti tembikar (min shalshal ka al-fakhar);[19] dari tanah liat (min thin lazibin);[20] dari tanah (min thin);[21] dari lumpur hitam yang diberi bentuk (min shalshal min hamaim masnun);[22] dan sebagainya.

Dalam beberapa ayat di atas, nampak bahwa antara ayat yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, sedang di sisi lain manusia diciptakan dari air. Persoalannya sekarang adalah: manusia itu diciptakan dari tanah ataukah dari air? Tanah liat yang kering sama sekali bukanlah air. Lalu bagaimanakah menafsirkan dan memahami ayat-ayat tersebut di atas? Padahal Allah telah menjamin bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada sedikitpun ayat-ayatnya yang saling kontradiktif satu sama lainnya.



Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS. al-Nisa’/4: 82)



Sebenarnya, berbagai ayat yang nampak saling bertentangan dan kontradiktif tersebut jika dikaji secara teliti dan mendalam kesemuanya tidak ada yang bertentangan. Artinya, setelah di adakan inthidhar atau observasi yang dilakukan oleh para ilmuwan terhadap asal-usul kejadian manusia dapat diketahui bahwa unsur-unsur pembentuk manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an tersebut kesemuanya merupakan komponen yang serasi. Maurice Bucaille, seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis, dengan jelas mengatakan hal itu.



Makna spiritual utama asal-usul manusia dari tanah tidak menyingkirkan pengertian yang ada dalam al-Qur’an, tentang apa yang pada masa kini disebut sebagai ‘komponen-komponen’ kimiawi tubuh manusia yang bisa ditemukan di tanah agar bisa membawakan pengertian ini – yang pada masa kini diakui sebagai tepat secara saintik – kepada orang-orang yang hidup ketika al-Qur’an diwahyukan, maka terminologi yang sesuai dengan tingkat pengetahuan pada masa itu harus digunakan. Manusia dibentuk dari komponen-komponen yang dikandung di dalam tanah.[23]



Bahwa pemahaman seseorang tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menyangkut fenomena kealaman seperti ini sangat di-pengaruhi dan tergantung pada tingkat pengetahuannya mengenai fenomena kealaman itu sendiri. Seseorang yang mengaharapkan dapat menciptakan sains dari membaca al-Qur’an, tanpa melakukan penelitian dan intidhar terhadap alam semesta, sama halnya pungguk merindukan bulan. Artinya, hal itu tidak akan terjadi. Sebab, apa yang dicetuskannya adalah konsepsinya sendiri dan bukan arti ayat-ayat tersebut yang didukung oleh ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini.

Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa menurut ‘ajaran agama’ – yang sebenarnya adalah menurut pemahaman pribadi – manusia tidak mungkin untuk bisa sampai dan menginjak daratan bulan, maka pernyataan itu dianggap sebagai suatu kebohongan belaka. Sebab, fakta membuktikan bahwa manusia sekarang ini telah mampu menginjakkan kakinya di benda angkasa yang nota bene tidak ada kehidupan tersebut. Akibatnya, agamanya dianggap sebagai sesuatu yang kolot dan mengajarkan kepada hal-hal yang tidak benar, yang pada akhirnya akan menjadikan kitab sucinya sebagai suatu yang tidak otentik dan palsu belaka. Padahal, konsepsinya sendirilah yang salah.

Demikian pula, ketika ia menafsirkan ayat al-Qur’an yang menyataan bahwa manusia diciptakan tanah liat. Yakni, sari pati tanah yang tercampur dengan air. Ia barangkali akan mengatakan bahwa Allah swt membuat suatu bentuk yang bahannya dari tanah liat tadi sebagaimana bentuk manusia seperti sekarang ini, lalu ditiupkan padanya roh Tuhan dan berfirman jadilah manusia, maka jadilah manusia itu. Jika demikian halnya, nampak sangat sederhana sekali konsepsinya itu. Lalu, bagaimanakah ia akan menafsirkan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dari sesuatu yang bahan dasarnya adalah debu? Padahal debu bukanlah tanah liat. Bagaimana pula konsepsinya itu jika dihubungkan dengan ayat-ayat lainnya, seperti yang tertuang dalam QS. al-Hajj/22: 5.



Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS. al-Hajj/22: 5)



Berpijak dari hasil intidhar yang dilakukan oleh para ilmuwan terhadap alam semesta yang ada disekeliling kita – baik yang jauh seperti galaksi, matahari, bintang, bulan, dan sebagainya, maupun yang dekat dengan kita seperti bumi, gunung-gunung, lautan, angin, hujan, sungai, dan sebagainya – maka kita (baca: mufassir) telah berhasil memberikan penafsiran dan pengertian yang menunjukkan adanya keserasian antara ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat Allah yang ada dalam alam semesta ini.

Dengan berkembang dan sempurnanya sains modern seperti sekarang ini, kita akan mempunyai informasi yang lebih akurat dan lebih banyak untuk memahami lebih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang sebelumnya sulit untuk dimengerti dan dipahami, yang secara khusus menyangkut fenomena kealaman (al-ayat al-kauniyah).



Isyarat Perkembangan Sains Modern dalam al-Qur’an

Apa yang telah dijelaskan dan dipaparkan pada pembahasan sebelumnya merupakan suatu isyarat al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (sains).  Bahkan, di dalam al-Qur’an juga dapat ditemukan ayat-ayat yang berkaitan dengan pengembangan teknologi. Kenyataan ini dapat dijumpai antara lain dalam QS. al-Anbiya’/21: 80-81, sebagai berikut:



Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. al-Anbiya’/21: 80-81)



Kedua ayat ini menunjukkan bahwa nabi Daud as. diberi teknologi pengerjaan bahan besi untuk dibuat baju besi sebagai perisai, sedangkan nabi Sulaiman diberi pengetahuan teknik pemanfaatan energi angin oleh Allah. Keterangan seperti tersebut di atas juga didapati dalam QS. Saba’/34: 10-12, sebagai berikut:



Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. (QS. Saba’/34: 10-12)



Prof. Dr. Abdussalam memahami ayat ‘Dan kami jadikan besi melunak baginua…’, Kami tundukkan angin baginya, dan ia mempunyai jin-jin di bawah perintahnya’ sebagai suatu kemampuan mengendalikan mesin-mesin berat pada zaman itu, yang dipergunakan dalam pembuatan balok-balok bangunan, istana-istana, bendungan-bendungan dan waduk-waduk. Kemudian – lebih lanjut ia mengatakan – kita diingatkan pada Dzulkarnaen (QS. al-Kahfi/18: 95-96)[24] yang membangun pertahanan dengan balok-balok dan besi serta tembaga cair.[25]

Dengan demikian, maka ditonjolkanlah ilmu metalurgi, teknik konstruksi berat, teknologi energi angin dan komunikasi. Sebagaimana diketahui oleh setiap muslim bahwa kitab suci ketika mengungkapkan sesuatu tidak sekedar asal-asalan, melainkan sebagai dorongan untuk masa depan dan sebagai contoh untuk diikuti oleh masyarakat.



Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir (QS. al-Hasyr/59: 21)



Keadaan semacam ini akan dapat dicapai manakala umat Islam mau mengikuti apa yang diperintahkan Allah, yaitu berintidhar terhadap alam semesta, sehingga kita dapat melihat ayat-ayat Allah sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.

Sudah barang tentu, dalam proses inthidhar kita tidak boleh melanggar akidah agama. Sebab, kita yakin akan kebenaran dan keautentikan al-Qur’an. Sehingga, akidah-akidahnya pun juga harus dijunjung tinggi. Artinya, kita berintidhar mengembangkan sains pada dasarnya adalah karena taat kepada perintah Allah,[26] guna untuk mendapatkan hidayahnya dari ungkapan ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini, sehingga kita dapat memahami ayat-ayat Allah yang ada di dalam al-Qur’an itu sendiri.

Wal hasil, apa yang telah dijanjikan Allah bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda-Nya (al-ayat) yang ada pada seluruh horizon (alam makro) dan dalam diri manusia sendiri (alam mikro), akan menjadi kenyataan, dan bahwa dia adalah sumber kebanaran. Hal ini sebagaimana dijanjikan Allah dalam QS. Fushshilat/41: 53, sebagai berikut:



Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushshilat/41: 53)

Al-Qur’an surat Fushshilat ayat 53 tersebut secara khusus menunjukkan suatu isyarat akan tumbuhnya berbagai jenis ilmu pengetahuan serta tujuannya. Hal ini dapat dilihat pada huruf ‘sin’ yang terdapat pada kata ‘sanurihim’ yang berarti ‘Kami akan memperlihatkan’. Huruf ‘sin’ yang dihubungkan dengan kata kerja imperfektum (fi’l al-mudharik) tersebut mengandung makna masa yang akan datang (al-mustaqbal). Di mana masa yang akan datang tersebut tidak berkesudahan, bahkan merupakan suatu yang berkesinambungan sampai hari pengadilan nanti.

Di sisi lain, perkataan ‘hatta yatabayyana lahum’, sehingga menjadi jelas bagi mereka, dalam ayat tersebut – dan seringnya dipakai perkataan la’alla (seandainya) dalam konteks-konteks seperti ini – menunjukkan sikap al-Qur’an yang sangat penting terhadap usaha menuntut ilmu.[27]

Seandainya segala ilmu pengetahuan – baik yang terdapat dalam alam makro maupun alam mikro – dikumpulkan menjadi satu, maka ia tidak akan lepas dari makna firman Allah, ayatina fi al-afaq wa fi anfusihim, yang ada di segenap penjuru (cakrawala) dan pada diri manusia sendiri. Yakni, cakrawala alam dan cakrawala manusia.

Tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat dalam alam semesta ini maupun yang ada pada diri manusia, adalah lebih terang dari sinar matahari, dan lebih cemerlang dari fajar yang terbit pada kejernihan langit. Takkan ada seorang pun yang merasa kesulitan dan takkan ada sebiji matapun yang kesulitan melihatnya. Cukuplah dengan membuka kitab yang berupa alam ciptaan Tuhan ini, kemudian dibaca, pasti akan mendapati tanda-tanda kekuasaan-Nya. Mengenai hal ini Dr. Muhammad al-Khatib menulis sebagai berikut:

Saya tidak perlu menyuruh anda memenuhi laboratorium dengan berpuluh-puluh perkakas dan peralatan yang paling mutakhir. Tidak perlu mengajak anda menjelajah ruang angkasa dengan sebuah pesawat atau menyelam ke dalam lautan dalam sebuah kapal selam. Dan tidak terlalu penting anda pelajari buku-buku, baik yang pernah ditulis oleh orang-orang dulu maupun sekarang. Semua itu tidak perlu kalau hanya untuk mengetahui ke-Esaan dan Ke-Tuhanan Dia Yang Maha pencipta. Lihat saja diri anda sendiri. Perhatikan ujung jari anda, pangkal leher anda, perhatikan sati saja di antara persendian-persendian yang etrdapat dalam tubuh anda, anda pasti menemui bukti yang kuat yang tak bisa diragukan lagi. Pasti anda temui bukti akan adanya Allah.[28]

Namun, jika kalimat yang amat gamblang tersebut tidak bisa juga dimengerti maknanya oleh akal pikiran, maka sesungguhnya akal pikiran yang demikian itu tidak akan mengetahui apapun juga.

Sumber :
http://rasail.wordpress.com/2012/05/24/mengungkap-fenomena-sains-al-ayat-al-kauniyah-dalam-al-quran/

0 komentar:

Posting Komentar

Nuril Shinta Rakhma Dewi

Sites

kurni.smanda.sch.id

Total Tayangan Halaman

Translate